Senin, 11 Agustus 2014

Kehilangan Sosok Ayah


Masa Kecil yang Harus Dilalui dengan Prihatin

Orangtua Dian bercerai saat Dian kelas 3 SD dan sosok ayah yang terasa asing oleh Dian meninggal pada 1995, persis ketika ibu Dian sekolah di Filipina. “Waktu ayah dan ibu bercerai, aku hampir tak merasakan apa-apa. Juga waktu ayah meninggal,” ungkapnya. 

Dian dibesarkan oleh ibunya yang amat percaya pentingnya pendidikan, Dian tumbuh sebagai pribadi yang banyak menahan keinginan. “Saya nggak pernah minta dibelikan baju, nggak berani minta dibelikan mainan. Kalau mau barang baru, ya harus menabung dulu sampai uangnya cukup,” kenangnya.
Sesudah jadi Gadis Sampul pun, Dian masih hidup sederhana. Berbeda dengan teman-temannya di sebuah sekolah, pemilik rambut panjang berperawakan 162 cm/46 kg ini berpenampilan biasa-biasa saja. 

Dia berangsur-angsur mempermodis penampilannya setelah bisa cari duit sendiri. “Mama kecewa dan protes melihat aku jadi gaya. Tapi aku membuktikan diri tetap anak baik dengan mempertahankan prestasi sekolah,” katanya. Dian selalu mengingat, akan perkataan ibunya. Dan itu menjadi bekalnya berkarier.  “Mama bukan orang kaya. Mama nggak sanggup punya anak yang nggak pintar.”  Dian pun membuktikannya dengan lulus sarjana Universitas Indonesia jurusan Filsafat. 






Mengenal Sosok Ayah Setelah Dewasa

Dian pernah merasa tak nyaman dengan keluarganya. Ayahnya suka bermeditasi, tidak bekerja, jarang makan, dan mandi, serta hidup menyendiri. “Seperti tidak pernah punya ayah saja,” kata Dian.

Setelah besar, baru Dian terpanggil untuk mengenal ayahnya lewat buku-buku yang dulu dilahap almarhum. Mata Dian pun terbuka. Ternyata, ucapnya, ayah tak seaneh yang ia dikira dan malahan punya kemiripan dengannya.
"Terus terang nih, saya pernah malu punya ayah seperti almarhum bapak saya. Dia belajar sastra Cina di Universitas Indonesia dan banyak yang bilang dia itu idealis dan berani. Dia rajin bermeditasi dan sewaktu meninggal memeluk agama Budha. Tapi yang paling saya ingat dari bapak sifatnya yang nyentrik. Saking nyentriknya, saya sampai malu. Dulu waktu saya kecil, bapak masih suka jemput saya ke sekolah. Kadang dia lupa jam berapa saya pulang. Bapak datang dengan baju berantakan dan mobil yang kotor. Padahal orangnya good looking. Tapi karena nggak terurus, badannya gemuk. Teman-teman suka heran lihat penampilan bapak dan tanya di mana bapak bekerja. Wah, saya malu dan bingung mau jawab apa. Soalnya yang cari uang kan ibu," kenangnya.

Setelah mengenal sosok ayahnya, Dian sudah tidak malu lagi dengan sosok sang ayah. "Ternyata banyak juga orang yang kenal bapak dan sekarang baik-baik sama saya. Waktu kuliah dulu, ayah seangkatan dengan Om Tino Saroengallo yang memproduseri Pasir Berbisik. Jadi Om Tino itu baik sekali, menjaga saya seperti bapak sendiri. Karena bapak jarang di rumah, saya lebih dekat dengan ibu. Justru kalau bapak sedang mau dekat, saya jadi merasa canggung. Dia lebih banyak tinggal sendiri dan hidupnya nggak teratur. Saat meninggal di badannya banyak penyakit, dari lever, asam urat, empedu, juga maag,".

Dituturkan Dian, kepriabadian Ayahnya jauh sekali dengan ibunya. "Ibu lain sekali dari ayah. Dia bekerja sangat keras dan saya diajar untuk mandiri. Waktu kecil, saya suka ditinggal ibu yang sibuk kerja," ucapnya.
Dian tak pernah dimanjakan oleh ibunya. melalui ibunya, Dian menjadi sosok yang mandiri.  "Biarpun sekarang saya sudah bisa cari duit, itu belum dirasa cukup oleh ibu yang mementingkan pendidikan. Ibu bilang, yang sekarang saya dapat hanya sementara sifatnya. Keberhasilan saya sekarang lebih banyak ditentukan faktor keberuntungan, jadi nggak masuk hitungan ibu. Saya harus terus belajar, punya karier, kalau mungkin punya usaha sendiri," ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar